.: BLOG INI SEDANG DALAM KONSTRUKSI SETELAH 2 TAHUN TERBEKUKAN :.

Tuesday, February 26, 2013

hempas

dia ingin naik ke puncak menara. dan melompat!
dia ingin memacu sepeda motornya, hingga melesat, biar ketika dia memejamkan mata … semua akan terlupa.

dia ingin menyudahi semua ini dengan suatu drama yang indah.
meski drama itu hanyalah fragmen sepersekian dari seperkian detik

dia telah lelah mengarungi hidup yang terus menghempaskan, melumatkan. dia ingin menyerah dari segala pertarungan. ia ingin melemparkan handuk putih, dan keluar dari arena kompentisi. dia tak perduli, apakah penontoh akan menyumpah atau meludah. semua yang diperjuangkannya kini mungkin hanyalah ilusi yang sia-sia.

dia telah frustasi memanggil “tuhan tuhan”. dia seperti afrika yang ditinggalkan tuhan, begitu kerontang.

hati yang dipercaya sebagai benteng terakhir yang akan membela dirinya sendiri pun telah berkhianat. jadi, siapa yang lebih hina daripada dicundangi dirinya sendiri. oleh hati dan otak. oleh logika dan rasa. maka kesadaran yang dia pegang teguh, kini seperti bendera tanpa warna. jikapun dapat dikibarkan, apa masih mempunyai makna.

dia melihat sosok dirinya, wujud hatinya, begitu tirus dan kurus. begitu kuyu dan nestapa. setelah berkutat dengan prasangka baik dan buruk terus berganti-ganti. kini dia tertawa sendiri. jika tuhan dapat didekapnya. ia ingin memeluk kaki nya. menangis dan memohon agar boleh berhenti dan menyerah

tanpa mendapat murkanya…
(Baca Selengkapnya)

Wednesday, October 14, 2009

rasa

merasa tua tanpa dewasa. merasa kalah bertaruh tanpa berjudi. mendebat logika dengan kira-kira. merasa tak-merasa. merasa bahagia dalam ketidakbahagiaan. tertawa tergelak, tanpa tau mengapa. ingin menangis tapi terkekeh. merasa diri kehilangan sesuatu yang tak pernah kau miliki. saat kau mengerti bahwa kau tak mengerti. saat kau tak tau bahwa kau tahu banyak. saat kau tak punya alasan, tapi tak berhenti mencari. saat kau merasa terjaga, namun sebenarnya kau masih bermimpi. ketika kau taktau apa yang sebetulnya kau inginkan. saat kau takingin tau apa yang kau inginkan

jika, kau disini. kau akan mengerti.

jika kau pergi dalam terlelap, dan kau bangun di tempat berbeda. jika kau bicara dalam bahasa yang sama tapi tak mengerti apa-apa. jika kau mengenal wajah-wajah namun sebetulnya kau tak mengenal siapa pun. jika gema suaramu adalah lawanmu bicara.

maka itulah hidup dalam keterasingan yang sempurna.


(Baca Selengkapnya)

Monday, August 31, 2009

tuhan, kau di mana?

di sini saya terdampar

bukan laut yang membuang saya. bukan langit yang menjatuhkan saya. bukan pula sungai menghanyutkan saya. tapi saya, sudah di sini. mungkin sejak kemarin. atau kemarinnya lagi. hadir, tanpa masa lalu di sini. atau di sana. kecuali, kenangan yang menyatukan saya dengan hari ini.

saya adalah seekor burung tua. yang hinggap kelelahan di dermaga ini. menontoni kapal tonkang melepas tambatan. menanyai nelayan dan penumpang kapal. memekik pada laut. bergumam pada riak-riak.

yang saya butuh adalah,
        pergi!

kembali?
        itu, barangkali hanyalah soalan nanti...

tolong pinjamkan saya mistar langit. saya mau mengukur jarak matahari. mengira jarak dari rumah ke kota ini. biar bisa menyadari. bahwa telah jauh kaki ini pergi. meski ternyata keterasingan tak pernah berbeda. hanya sekedar bertukar warna, bermalih rupa.

jam ini saya di sini. menanyai gadis manis ditepi dermaga, tentang ini-tentang itu. melempar segepok senyum. mencuri secarik tawa. menyimpannya jadi koleksi. saya rugi. tapi masih bisa gembira. tak apa. itu semua sekedar pertanda, bahwa saya baik-baik saja.

senja membuat saya berkhayal, pacar saya adalah gadis dalam lukisan jeihan. yang menunggu setia ditepi jendela. dia menulis surat dan bercerita apa saja. dan saya menjawab dengan kartu pos, gambar dermaga. gambar perahu. atau langit dan burung kuntul. dengan oretan dua- tiga kata.

                matahari mencium kening laut
                senja begitu rapuh.

saya menciumi bau laut. adakah cinta saya basin seperti laut. yang bergolak sendirian. yang terengah kehausan ditengah limpah samudra. mencari kekasih, yang tak tau menunggu di pantai mana. hingga berteriak :

                tuhan, tuhan kau dimana?

labuan, tanggal teratai
(Baca Selengkapnya)

Sunday, August 30, 2009

saya saya saya...

saya
    saya
        saya

ah...

saya memang naif, menyukai wajah naif, senyum naif, orang-orang naif, karna mungkin saya adalah kenaifan itu sendiri. yang meski telah hidup berpuluh tahun, ditempa waktu, dilewati peristiwa. tapi selalu merasa bodoh dan tak betulbetul memahami diri sendiri. selalu belajar namun tak pintar-pintar. dan kadang terheran-heran dengan kelebihan yang dimiliki orang lain, yang lebih sedikit pengalaman tapi lebih banyak memahami. tentang apapun. pada siapapun...

saya. mengapa begitu banyak saya, yang selalu saya katakan. mungkin karna saya ini manusia yang masih butuh pengakuan. yang meski melemparkan subjek, tetap ada ruang kosong yang minta diisi.

...

dia
    dia
        dia
adalah lelaki yang mencintai malam. selalu terpesona dengan malam.

malam, baginya bagai sekuntum bunga, yang rekah dalam diam. tersaput lembab, menebar parfum rembulan. melemparkan sejuk, yang menjalar dialun hening, mengalir dalam nada lembut. dia merasa dirinya berlari, dalam angan. dalam nyata. kakinya, nafasnya, mimpinya membelah udara.

         mengintai sepi, yang lengang, dirapat beton kaku,
                  mengintip bibir embun, yang diciumi kerlap lampu.

dia mencari posisi,

lelaki itu membidik. malam yang diam, menahan nafas. lelaki itu memotret. malam yang diam tersenyum padanya. lelaki itu adalah dia, dia itu yang menenteng tustel menyusuri jalan, dan melusup lorong dalam bayang-bayang. dia akan pulang menjelang dinihari. membawa mimpinya tentang semua pesona kerjap lampu.

kini dihadapannya sebuah cermin. saya melihat dibalik sana, dia lelah dan menua. betapapun dia lari, tapi kesini akan kembali, sebab menanti.

                , klik!

night ramadhan9,1230 h
(Baca Selengkapnya)

Friday, January 23, 2009

menunggu sepi

pernahkah kau datang ke stasiun, hanya untuk menunggu sepi hilang?

lelaki itu bangun dari hari kemarin, pagi ini. dia terjaga mendapati diri dengan suatu keinginan. rasa ingin yang melusup begitu saja menarik ujung tidurnya, tak bisa ditolak, mengundang datang ke stasiun itu.

malam makin tipis. namun pagi belum tampak kan datang. di situ, di bangku kayu, duduk termangu. ditemani redup lampu. angannya mengalir direl hitam. dibawa gerbong utara, selatan. kata belum terjaga sepagi ini. ingatan masih serupa embun di tiang-tiang listrik. mencakung, menyaru di sisa malam. angin masih pulas diranting. digenting.

yang sisa hanyalah sepi.

dia mengingat kalimat itu : “menunggulah untukku”. menunggulah untukku, merdunya untaian kata-kata keparat itu, berkilau hurufnya seperti butiran mutiara.

“menunggulah untukku?” bibirnya tak sadar melafalnya lagi, entah yang keberapa ratus kali. ah inginnya dia terpingkal pada kalimat ajaib itu. mengapa dia demikian percaya? tak ada yang menyuruhnya melakukan kedunguan sinting ini. kau tau, yang kau titipkan hanya sebongkah sepi. sepi yang kau selipkan di gerbong kereta. dan aku menunggunya setiap pagi.

di celah-celah gerbong kereta yang berhenti. binar mentari menguak kelopak pagi. orang mulai ramai berdiri. siap berebut matahari.

(andai hatiku,
dapat kutautkan di jarimu. tentu kudapat mengikuti setiap jejakmu. kemana kaupergi. kemana kauberlari. akan kukekalkan sekeping rindu, jadi lukisan kenangan yang mengatung di lengkung ingatan. andai dapat kusentuh mimpimu, akan kugulung kumparan hari. hingga waktu tanggal disapu sepi)


-----
demikian lama tak menulis. demikian lama terbengkalai. dibawa garis nasib tak tentu. ditindas angkuh jenuh yang kelu. karangsati.
(Baca Selengkapnya)