dia ingin naik ke puncak menara. dan melompat!
dia ingin memacu sepeda motornya, hingga melesat, biar ketika dia memejamkan mata … semua akan terlupa.
dia ingin menyudahi semua ini dengan suatu drama yang indah.
meski drama itu hanyalah fragmen sepersekian dari seperkian detik
dia telah lelah mengarungi hidup yang terus menghempaskan, melumatkan. dia ingin menyerah dari segala pertarungan. ia ingin melemparkan handuk putih, dan keluar dari arena kompentisi. dia tak perduli, apakah penontoh akan menyumpah atau meludah. semua yang diperjuangkannya kini mungkin hanyalah ilusi yang sia-sia.
dia ingin memacu sepeda motornya, hingga melesat, biar ketika dia memejamkan mata … semua akan terlupa.
dia ingin menyudahi semua ini dengan suatu drama yang indah.
meski drama itu hanyalah fragmen sepersekian dari seperkian detik
dia telah lelah mengarungi hidup yang terus menghempaskan, melumatkan. dia ingin menyerah dari segala pertarungan. ia ingin melemparkan handuk putih, dan keluar dari arena kompentisi. dia tak perduli, apakah penontoh akan menyumpah atau meludah. semua yang diperjuangkannya kini mungkin hanyalah ilusi yang sia-sia.
dia telah frustasi memanggil “tuhan tuhan”. dia seperti afrika yang ditinggalkan tuhan, begitu kerontang.
hati yang dipercaya sebagai benteng terakhir yang akan membela dirinya sendiri pun telah berkhianat. jadi, siapa yang lebih hina daripada dicundangi dirinya sendiri. oleh hati dan otak. oleh logika dan rasa. maka kesadaran yang dia pegang teguh, kini seperti bendera tanpa warna. jikapun dapat dikibarkan, apa masih mempunyai makna.
dia melihat sosok dirinya, wujud hatinya, begitu tirus dan kurus. begitu kuyu dan nestapa. setelah berkutat dengan prasangka baik dan buruk terus berganti-ganti. kini dia tertawa sendiri. jika tuhan dapat didekapnya. ia ingin memeluk kaki nya. menangis dan memohon agar boleh berhenti dan menyerah
tanpa mendapat murkanya…